Doli Usul Pilpres Pileg Juga Dipisah: Pemilu Serentak Perkuat Pragmatisme
Wacana pemisahan pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) kembali mencuat setelah
Ahmad Doli Kurnia, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, menyampaikan pandangannya soal format pemilu
serentak yang selama ini diterapkan di Indonesia Dalam pernyataannya
Doli menilai bahwa pelaksanaan pemilu serentak justru mendorong praktik politik yang makin pragmatis
dan melemahkan kualitas demokrasi secara substansial.

Menurutnya, pemilu serentak yang menyatukan lima kotak suara dalam satu waktu—termasuk pilpres dan pileg
lebih banyak menimbulkan persoalan teknis dan efek samping politik jangka panjang dibanding manfaatnya.
Kritik terhadap Politik Serentak
Ahmad Doli Kurnia, yang berasal dari Fraksi Golkar, menjelaskan bahwa pemilu serentak memberi
beban berlebih pada pemilih dan penyelenggara, serta memunculkan kecenderungan koalisi instan, politik transaksional, dan lemahnya kaderisasi partai.
“Yang terjadi saat ini, partai politik cenderung menumpang popularitas calon presiden.
Kampanye partai menjadi sangat tergantung pada figur capres atau cawapres, bukan pada visi-misi partai
atau kualitas caleg,” ujar Doli dalam sebuah diskusi publik di Jakarta.
Ia menambahkan, pemilu serentak menghilangkan ruang untuk membangun diskursus kebijakan publik yang lebih mendalam.
Segalanya jadi instan, pendek, dan dangkal karena seluruh perhatian publik hanya tertuju pada pemilihan presiden.
Usulan Pemisahan Pilpres dan Pileg
Doli mengusulkan agar pemilu kembali dipisah menjadi dua tahapan, seperti sebelum diberlakukannya pemilu serentak.
Dalam skema ini, pemilu legislatif akan dilaksanakan lebih dahulu, diikuti oleh pemilu presiden beberapa bulan setelahnya.
Model ini memungkinkan partai politik untuk lebih fokus memperkuat struktur internal
menawarkan program konkret kepada masyarakat, serta mendorong kaderisasi politik yang lebih sehat.
“Kalau pileg dulu, masyarakat memilih partai dan wakilnya secara sadar. Lalu, baru menentukan presiden yang akan bekerja sama dengan parlemen yang sudah dipilih. Ini membuat jalur demokrasi kita lebih terstruktur dan rasional,” jelasnya.
Tanggapan Beragam dari Publik dan Akademisi
Pernyataan Doli mendapat tanggapan beragam. Beberapa pengamat politik mendukung gagasan ini karena
menilai bahwa pemilu serentak tidak menghasilkan peningkatan kualitas demokrasi melainkan sekadar efisiensi anggaran yang berisiko tinggi secara teknis.
Namun di sisi lain, ada pula yang menilai bahwa pemilu serentak tetap penting untuk menghindari polarisasi politik yang berlarut-larut dan mencegah pemborosan anggaran negara.
Peneliti dari Perludem, Titi Anggraini, menyatakan bahwa gagasan pemisahan harus diiringi evaluasi
mendalam dan komitmen terhadap pembenahan sistem kepartaian. “Jangan sampai pemisahan hanya menguntungkan elite politik, tapi rakyat tetap dihadapkan pada pilihan yang buruk karena tidak ada perbaikan sistem.”
Perspektif Konstitusional
Secara hukum, wacana pemisahan pemilu sudah pernah diangkat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Namun, MK dalam putusannya pada 2014 menyatakan bahwa pemilu serentak adalah amanat
konstitusi, dengan tujuan menyederhanakan sistem presidensial dan meningkatkan akuntabilitas antara presiden dan parlemen.
Jika gagasan Doli ingin diwujudkan, maka diperlukan revisi undang-undang pemilu dan
kemungkinan judicial review ke MK, yang tentu membutuhkan dukungan politik yang kuat di DPR dan pemerintah.
Penutup: Demokrasi Butuh Arah, Bukan Sekadar Format
NADIA4D LOGIN Usulan Ahmad Doli Kurnia membuka kembali ruang diskusi tentang format demokrasi Indonesia.
Pemisahan pilpres dan pileg bisa jadi salah satu solusi untuk memperbaiki kualitas politik, tapi bukan satu-satunya.
Yang lebih penting adalah memperkuat partai, membangun politik berbasis gagasan, dan mendidik pemilih untuk lebih kritis.
Apakah pemilu serentak atau tidak, pada akhirnya kualitas demokrasi sangat bergantung pada aktor-aktornya—bukan sekadar waktu pelaksanaannya.
Baca juga:Petaka Satu Keluarga Tewas Tertimbun Longsor di Garut
Leave a Reply